Sejarah
Munculnya Ilmu Kalam
Adapun
yang melatar belakangi sejarah munculnya persoalan-persoalan kalam adalah
disebabkan faktor-faktor politik pada awalnya setelah khalifah Ustman terbunuh
kemudian digantikan oleh Ali menjadi khalifah. Peristiwa menyedihkan dalam
sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar),
sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan
agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan
paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan
penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik
tolak dari Fitnah Besar itu.
Pada
zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab ( 634-644 )
problema keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah aqidah. Tapi
setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 ) fitnah pun
timbul. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim,
salah seorang penyulut pergolakan. Meskipun itu ditiupkan, Abdullah bin Saba’
pada masa pemerintahan Ustman namun kemelut yang serius justru terjadi di
kalangan Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh ( 656 ).
Perselisihan
di kalangan Umat islam terus berlanjut di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib
( 656-661 ) dengan terjadinya perang saudara, pertama, perang Ali dengan
Zubair, Thalhah dan Aisyah yang dikenal dengan perang jamal, kedua, perang
antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Pertempuran dengan
Zubair dan kawan-kawan dimenangkan oleh Ali, sedangkan dengan Muawiyah berakhir
dengan tahkim ( Arbritrase ).
Hal ini berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya aliran-aliran Teologi dalam islam.
Hal ini berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya aliran-aliran Teologi dalam islam.
Ketauhidan
di Zaman Bani Umayyah ( 661-750 M ) masalah aqidah menjadi perdebatan
yang hangat di kalangan umat islam. Di zaman inilah lahir berbagai aliran
teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariah dan Mu’tazilah.
Pada
zaman Bani Abbas ( 750-1258 M ) Filsafat Yunani dan Sains banyak dipelajari
Umat Islam. Masalah Tauhid mendapat tantangan cukup berat. Kaum Muslimin tidak
bisa mematahkan argumentasi filosofis orang lain tanpa mereka menggunakan
senjata filsafat dan rasional pula. Untuk itu bangkitlah Mu’tazilah
mempertahankan ketauhidan dengan argumentasi-argumentasi filosofis tersebut.
Namun
sikap Mu’tazilah yang terlalu mengagungkan akal dan melahirkan berbagai
pendapat controversial menyebabkan kaum tradisional tidak menyukainya.
Akhirnya
lahir aliran Ahlussunnah Waljama’ah dengan Tokoh besarnya Abu Hasan Al-Asy’ari
dan Abu Mansur Al-Maturidi.
Mula-mula
ialah untuk membuat penalaran logis oleh orangorang yang melakukan pembunuhan
'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu
disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh
atau harus dibunuh?
Karena
ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan)
padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan
(menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar
suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah
sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas)
pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka
yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal
perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu,
yang baik dan yang buruk.
Para
pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi
pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan,
misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut: Sebagian besar pasukan Ali,
begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari
peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para
pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat
saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang
menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.
Tetapi
mereka kemudian sangat kecewa kepada ‘Ali, karena Khalifah ini menerima usul
perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, dalam “Peristiwa
Shiffin” di situ ‘Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan
“de jure”-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru
yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot
atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap ‘Utsman, kaum Khawarij juga
memandang ‘Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar
(haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk
membunuh ‘Ali dan Mu’awiyah, juga Amr ibn al-’Ash, gubernur Mesir yang
sekeluarga membantu Mu’awiyah mengalahkan Ali dalam “Peristiwa Shiffin” tersebut.
Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh
hanya ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-luka, dan ‘Amr ibn al-’Ash
selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang
disangka ‘Amr, karena rupanya mirip).
Karena
sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij
akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran
Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam.
Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu’tazilah.
Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu
Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah
mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang
disebutnya Imam ‘Abdull’ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu
menyatakan demikian: Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan
kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya
kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional).
Karena
itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum
Mu’tazilah. Maka salah satu ciri pemikiran Mu’tazili ialah rasionalitas dan
paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar
menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang
bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan
bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan
ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyahnya dari
Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa
Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya
mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus
(partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala
sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum
alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat
pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan
yang berpribadi personal God.
Baginya
Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai
hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya
sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat
kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka,
adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan
konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang
mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat (“pengingkar”
[sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu’aththilah (“pembebas” [Tuhan dari sifat-sifat])
Kaum
Mu’tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu’tazilah justru
menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum
Mu’tazilah disebut sebagai “titisan” doktrinal (namun tanpa gerakan politik)
kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu’tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi
yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu’tazilah
meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan
berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan
kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu’tazilah kepada penggunaan
bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya membawa kaum Mu’tazilah kepada
penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan
buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa
Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma’mun ibn Harun
al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafa
Khalifah
al-Ma’mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam,
memihak kaum Mu’tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal
(pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu,
Khalifah al-Ma’mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu’tashim,
melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta
menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara. Salah
satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud
al-Qur’an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau
Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan
dalam huruf dan bahasa Arab)? Khalifah al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah
berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti
Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan
topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur’an itu qadim seperti Dzat
Allah sendiri. Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.
Mihnah
itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi
ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang
sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa
al-Ma’mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap
diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma’mun
(198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya,
dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran
Islam,termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam.”
Dalam
perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum
Mu’tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu
al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran
Mu’tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu’tazili). Tetapi kemudian
pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu’tazilinya, dan justru mempelopori
suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu’tazilah. Ilmu Kalam al-Asy’ar’i itu, yang
juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang
untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang,
karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni.
Kebanyakan
mereka ini kemudian menegaskan bahwa “jalan keselamatan” hanya didapatkan
seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy’ari. Seorang pemikir lain
yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-Asy’ari ialah Abu Manshur
al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit
perbedaan dengan al-Asy ‘ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang
kebebasan manusia (al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar
daripada al-Asy’ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan
system Ilmu Kalamnya dipandang sebagai “jalan keselamatan”, bersama dengan
sistem al-Asy’ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji
Muhammad Shalih ibn ‘Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh
Darat dari daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi
dalam sebuah hadits yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa
dari mereka itu yang bakal selamat:
(…Umat
yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan
kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari
antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh
dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang
berkelakuan seperti
Tetapi
tak urung konsep kasb al-Asy’ari itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan
lawan-lawan al-Asy’ari tidak hanya terdiri dari kaum Mu’tazilah dan Syi’ah
(yang dalam Ilmu Kalam banyak mirip dengan kaum Mu’tazilah), tetapi juga
muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal
ini bisa dikemukakan, sebagai contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728
H/1263-1328 M), seorang tokoh paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn
Taymiyyah menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu alAsy’ari bukannya menengahi
antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan
mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang
terkemuka. Dalam ungkapan yang menggambarkan pertikaian pendapat beberapa
golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham
Qadariyyah beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih
cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia tentu akan mengingkari penilaian
terhadap dirinya seperti itu) mengatakan demikian: Sesungguhnya para pengikut
paham Asy’ari dan sebagian orang yang menganut paham Qadariyyah telah
sependapat dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang
Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya secara verbal dan mengemukakan
hal-hal yang tidakmasuk akal… Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang
kaum Mu’tazilah dalam masalah-masalah Qadariyyah –sehingga kaum Mu’tazilah
menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah– dan mereka (kaum Asy’ariyyah) itu
mengingkari bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada pada bendabenda bernyawa
mempunyai dampak atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian
(tindakan-tindakan).[13]
Namun
agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya betapa rumit dan tidak sederhananya
masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb alAsy’ari yang ia
sebutkan dirumuskan sebagai “sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya
kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu
dibarengi dengan kemampuan tersebut” Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa pendapatnya
itu disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk Malik, Syafii dan Ibn Hanbal.
Namun Ibn Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam oleh ahli
yang lain sebagai salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.
Ilmu
Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy’ari, juga dikecam kaum Hanbali
dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam
Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran
rasional (‘aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql, “salinan” atau
“kutipan”), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum “liberal”, seperti
golongan Mut’azilah,cenderung mendahulukan akal, dan kaum “konservatif”
khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan
ini ialah masalah interprestasi (ta’wil), sebagaimana telah kita bahas.[16]
Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy’ari cenderung mendahulukan naql
dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan
jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan “bi la kayfa” (tanpa bagaimana) untuk
pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) –menggambarkan Tuhan
seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy’ari
ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.Tetapi
bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy’ari, juga epistemologinya, banyak
dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam
kaum Mu’tazilah, Ilmu Kalam al-Asy’ari pun banyak menggunakan unsur-unsur
filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq) Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn
Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis
tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum
mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam
pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta’aqqul
(intelektualisasi).
Demikian
pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategorikategori yang sepuluh
(esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan
pasi), juga konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan
lain-lain, ditolak oleh Ibn Taymiyyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak
ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa
“hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiran” (Al-haqiqah
fi al-ayan, la fi al-adzhan).
ALIRAN – ALIRAN YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA
1.
Aliran
Antroposentris
Aliran
antroposentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat
intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos baik
ang natural maupun yang supra natural dalam arti unsurt-unsurnya. Manusia adalah
anak kosmos. Unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya.
Tugas manusia adalah melepaskan unsure natural yang jahat. Dengan demikian,
manusia harus mampu menghapus kepribadian kemanusiannya untuk meraih
kemerdekaan dari lilitan naturalnya.
Manusia
antroposentris sangat dinamis karena menganggap hakekat realitas transenden
yang bersifat intrakosmos dan inpersonal dating kepada manusia dalam bentuk
daya sejak manusia lahir. Daya ini berupa potensi yang menjadikannya mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan
akan memperileh keuntungan melimpah (surge), sedangkan manusia yang memilih
kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya,
manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden.
Aliran teologi yang termasuk dalam katagori ini adalah Qadariyah, Mu’tazilah
dan Syi’ah.
2.
Teolog
Teosentris
Aliran
teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat Suprakosmos,
personal dan ketuhanan, Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos
ini dengan segala kekuasaan-Nya, mampu berbuat apa saja secara mutlak dan
manusia adalah ciptaan-Nya sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya.
Manusia
teosentris adalah manusia statis karena sering terjebak dalam kepasrahan mutlak
kepada tuhan. Bagianya, segala sesuatu/perbuatanya pada hakikatnya adalah
aktiitas tuhan. Ia tidak mempunyai ketetapan lain, kecuali apa yang telah
ditetapkan Tuhan. Aliran teosentris menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan
baik atau jahat bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Aliran ini yang tegolong
kategori Jabbariyah.
3.
Aliran
Konvergensi Sintesis
Aliran
konvergensi menganggap hakikat Realitas transenden besifat supra sekaligus
intrekosms, personal dan impersonal, lahut dan nashut, makhluk dan tuhan saying
dan jahat, lenyao dan abadi, tampak dan abstrak dan sifat lain yang di kotomik.
Aliran
konvergensi memandang bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu selalu berada
dalam abmbiu (serba ganda) baik secara subtansial maupun formal.
Aliran ini juga
berkeyakinan bahwa daya manusia merupakan proses kerja sama antara daya yang
transedental (Tuhan) dalam bentuk kebijasanaan dan daya temporal (manusia)
dalam bentuk teknis.
Kebahagian bagi
para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuanya membuat pendalam
agar selalu berada tidak jauh kekanan atau kekiri tetapi tetap ditengah-tengah
antara berbagai ekstrimitas aliran teolog yang dapat di masukkan ke dalam kategori
ini adalah Asy’ariyah.
4.
Aliran Nihilis
Aliran Nihilis
menganggap bahwa hakekat realitas transcendental hanyalah ilusi. Aliran ini pun
menolak tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi tuhan kosmos.
Kekuatan terletak pada kecerdikan diri sendiri manusia sendiri sehingga mampu
melakukan yang terbaik dari tawaran yang tebutuk. Idealnya manusia mempunyai
kebahagian besifat fisik yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar